Jumat, 18 Februari 2011

Konfederasi dan Federal Konstitusional


Konfederasi


Kongres Konfederasi atau Amerika Serikat dalam Kongres Bersatu adalah lembaga pemerintahan berkuasa di Amerika Serikat sejak 1 Maret 1781 hingga 4 Maret 1789. Lembaga ini terdiri dari delegasi yang ditunjuk oleh legislator negara bagian. Kongres ini merupakan penerus Kongres Kontinental Kedua. Disebut sebagai Kongres Kontinental sepanjang delapan tahun sejarahnya Keanggotaan Kongres Kontinental Kedua secara otomatis pindah ke Kongres Konfederasi ketika dibentuk berdasarkan ratifikasi Artikel Konfederasi. Kongres Konfederasi diteruskan oleh Kongres Amerika Serikat.

Kongres Konfederasi Pertama
·         1 Maret 1781 – 3 November 1781, Philadelphia, Pennsylvania
Kongres Konfederasi Kedua
·         5 November 1781 – 2 November 1782, Philadelphia
Kongres Konfederasi Ketiga
·         4 November 1782 – 21 Juni 1783, Philadelphia
·         30 Juni 1783 – 1 November 1783, Princeton, New Jersey
Kongres Konfederasi Keempat
·         3 November 1783 – 4 November 1783, Princeton
Kongres Konfederasi Kelima
·         26 November 1783 – 3 Juni 1784, Annapolis, Maryland
Kongres Konfederasi Keenam
·         1 November 1784 – 24 Desember 1784, Trenton, New Jersey
·         11 Januari 1785 – 4 November 1785, New York, New York
Kongres Konfederasi Ketujuh
·         7 November 1785 – 3 November 1786, New York
Kongres Konfederasi Kedelapan
·         6 November 1786 – 30 Oktober 1787, New York
Kongres Konfederasi Kesembilan
·         5 November 1787 – 21 Oktober 1788, New York
Kongres Konfederasi Kesepuluh
·         3 November 1788 – 2 Maret 1789, New York

COOMING SOON : (apa-apa aja yang di omongkan di kongres-kongres tu)


Federal Konstitusional


Pemerintah federal Amerika Serikat adalah pemerintah pusat Amerika Serikat yang didirikan berdasarkan Konstitusi Amerika Serikat. Pemerintah federal Amerika Serikat memiliki tiga cabang yaitu: legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
Pemerintah federal Amerika Serikat didirikan pada tahun 1790 dan dianggap sebagai federasi nasional modern pertama di dunia. Meskipun demikian, rincian federalisme Amerika telah menjadi perdebatan sejak diundangkannya Konstitusi Amerika Serikat, di mana beberapa pihak mengargumentasikan kekuasan nasional secara luas, sedangkan pihak lain menafsirkan pasal-pasal Konstitusi tentang kekuasaan pemerintah nasional secara harfiah.
Sejak Perang Saudara Amerika, kekuasaan Pemerintah Federal secara umum telah berkembang dengan hebatnya, kendati terdapat beberapa periode ketika pendukung hak-hak negara bagian telah berhasil membatasi kekuasaan federal melalui tindakan legislatif, prerogatif eksekutif, atau melalui penafsiran konstitusional di mahkamah
Kedudukan pemerintah federal berada di Washington, D.C.. Kata "Washington" telah terbiasa dijadikan istilah pengganti bagi pemerintah federal Amerika Serikat.



Kongres adalah cabang legislatif Pemerintah Federal. Kongres memiliki dua kamar, yaitu Dewan Perwakilan Rakyat dan Senat. DPR terdiri dari 435 anggota yang memiliki hak suara, tiap anggota itu mewakili sebuah distrik kongres dan bertugas selama dua tahun. Selain 435 anggota berhak suara, terdapat juga lima anggota tanpa hak suara, yaitu empat orang perwakilan dan seorang komisioner residen. Terdapat satu perwakilan dari Washington, D.C., Guam, Kepulauan Virgin, dan Samoa Amerika, dan komisioner residen dari Puerto Rico. Kursi DPR Amerika Serikat ditentukan dari tiap negara bagian dengan mempertimbangkan jumlah penduduk masing-masing negara bagian itu; sebaliknya, tiap-tiap negara bagian memiliki dua senator, tanpa memperhatikan jumlah penduduk. Seluruhnya terdapat 100 senator (karena sekarang ada 50 negara bagian), yang bertugas selama enam tahun per periode jabatan (sepertiga dari anggota Senat diganti menurut hasil pemilihan tiap dua tahun sekali). Tiap kamar kongres (DPR atau Senat) memiliki kekuasaan eksklusif khusus Senat harus memberikan "nasihat dan persetujuan" terhadap perjanjian-perjanjian kepresidenan, dan DPR harus mengajukan rancangan undang-undang untuk tujuan menaikkan pajak. Persetujuan kedua-dua kamar diperlukan untuk meloloskan suatu legislasi, yang hanya akan menjadi undang-undang setelah ditandatangani Presiden; tetapi jika Presiden memveto suatu legislasi, kedua-dua kamar Kongres dapat mengajukan kembali legislasi tersebut; dan supaya legislasi tersebut dapat menghasilkan undang-undang tanpa ditandatangani Presiden, diperlukan minimal dua per tiga suara setuju dari anggota masing-masing kamar. Kekuasaan Kongres terbatas pada semua hal yang diterakan di dalam Konstitusi; semua kekuasaan lainnya menjadi tanggung jawab negara bagian dan rakyat. Konstitusi juga menyertakan "Syarat Cukup dan Syarat Perlu", yang memberi Kongres kekuasaan untuk "membuat semua undang-undang yang perlu dan cukup untuk meneruskan dan menjalankan kekuasaan-kekuasaan sebelumnya." Para anggota DPR dan Senat dipilih melalui pemilihan umum yang menerapkan sistem suara terbanyak dan memperhatikan kemajemukan di setiap negara bagian, kecuali Louisiana dan Washington, yang menerapkan sistem pemilihan dua babak, yakni hanya dua calon dengan suara terbanyak yang dapat dipilih pada babak berikutnya.
Artikel I, Bagian 2, Paragraf 2 Konstitusi Amerika Serikat memberi tiap kamar kekuasaan untuk "menentukan aturan dari tiap-tiap prosidingnya." Dari ketentuan ini dibuatlah Komite Kongres Amerika Serikat, yang melakukan pengerjaan rancangan legislasi dan melakukan penyelidikan kongresional ke dalam persoalan nasional. Kongres ke-108 (2003–2005) memiliki 19 komite kerja di dalam DPR dan 17 di dalam Senat, ditambah empat komite tetap bersama dengan anggota dari kedua-dua kamar untuk mengawasi Perpustakaan Kongres, percetakan, perpajakan, dan ekonomi. Selain itu, tiap kamar dapat menamai atau memilih komite untuk mempelajari persoalan tertentu. Kini, banyak beban kerja kongres ditanggung oleh beberapa komite, yang jumlahnya kira-kira 150-an.

sumber from WIKIPEDIA.COM

Kamis, 17 Februari 2011

yunaperdana: PROTOKOL KYOTO

yunaperdana: PROTOKOL KYOTO: "Ketika mengadopsi UNFCCC pada tahun 1992, para pemerintah menyadari bahwa Konvensi tersebut bisa menj..."

PROTOKOL KYOTO


Ketika mengadopsi UNFCCC pada tahun 1992, para pemerintah menyadari bahwa Konvensi tersebut bisa menjadi pijakan bagi tindakan lebih kuat di masa depan. Dengan melakukan proses peninjauan, pembahasan dan pertukaran informasi secara terus-menerus, Konvensi tersebut memungkinkan pengadopsian komitmen-komitmen tambahan untuk menanggapi perubahan dalam pemahaman ilmiah dan kemauan politik.
Tinjauan pertama dari komitmen Negara maju dilakukan seperti disyaratkan oleh sidang pertama COP (COP-1) di Berlin pada tahun 1995. Para Pihak memutuskan bahwa komitmen Negara-negara maju untuk mengembalikan ke tingkat emisi pada tahun 2000 sama seperti tingkat emisi pada tahun 1990 tidak cukup untuk mencapai tujuan jangkapanjang Konvensi yaitu mencegah “campur tangan zat-zat hasil kegiatan manusia terhadap sistem iklim”.
Pada menteri dan pejabat senior menanggapinya dengan mengadopsi “Mandat Berlin” dan melakukan rangkaian perundingan baru mengenai penguatan komitmen Negara maju. Kelompok Ad Hoc Mandat Berlin (AGBM) dibentuk untuk membuat draft perjanjian; setelah sidang kedelapan, kelompok tersebut mengajukan teks ke perundingan terakhir COP-3.
Sekitar 10 000 delegasi, pengamat dan wartawan berpartisipasi dalam perundingan tingkat tinggi ini yang diselenggarakan di Kyoto, Jepang, pada Desember 1997. Konferensi ini menghasilkan keputusan berupa konsensus (1/CP.3) untuk mengadopsi Protokol yang mengharuskan negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka setidaknya sebanyak 5% dibandingkan tingkat emisi pada tahun 1990 pada periode 2008-2012. Komitmen yang mengikat secara hukum ini menjanjikan untuk menghasilkan penurunan emisi yang telah cenderung mengalami kenaikan di Negara-negara tersebut sejak 150 tahun lalu.
Protocol Kyoto terbuka untuk ditandatangani pada 16 Maret 1998. Protokol ini diberlakukan 90 hari setelah diratifikasi oleh sekurangnya 55 Pihak Konvensi, termasuk Negara-negara maju yang menyumbangkan setidaknya 55% dari jumlah total emisi karbondioksida pada tahun 1990 dari kelompok Negara industri ini. Selain itu, para Pihak UNFCCC akan terus menjalankan komitmen mereka sesuai dengan Konvensi dan mempersiapkan implementasi lebih lanjut dari Protokol ini.




Isi

Pasal-pasal pada protokol kyoto untuk UNFCCC tidak memiliki judul; judul topik yang dicantumkan di bawah ini hanya untuk memudahkan pembaca dan bukan merupakan bagian dari teks resmi, yang dimulai pada halaman 3 preambul
1.      Definisi
2.      Kebijakan dan langkah-langkah
3.      Komitmen pembatasan dan pengurangan emisi
4.      Pemenuhan komitmen bersama
5.      Masalah metodologi
6.      Transfer dan pengambil alihan unit pengurangan emisi (implementasi bersama)
7.      Komunikasi informasi
8.      Tinjauan informasi
9.      Tinjauan terhadap Protokol
10.  Kelanjutan untuk meningkatkan komitmen yang ada
11.  Mekanisme keuangan
12.  Mekanisme Pembangunan Bersih
13.  COP/MOP
14.  Sekretariat
15.  Badan-badan pembantu
16.  Proses konsultasi multi-lateral
17.  Perdagangan emisi (Emission Trading)
18.  Kegagalan pemenuhan syarat
19.  Penyelesaian sengketa
20.  Amandemen
21.  Adopsi dan amandemen terhadap annex
22.  Hak suara
23.  Depositori
24.  Penandatanganan dan ratifikasi, penerimaan, persetujuan dan aksesi
25.  Pemberlakuan
26.  Perkecualian
27.  Pengunduran diri
28.  Naskah asli

Annex A: Gas-gas ruumah kaca dan kategori sektor/sumber
Annex B: Komitmen jumlah pembatasan atau pengurangan emisi oleh para Pihak

PROTOKOL KYOTO UNTUK KERANGKA KERJA PBB PADA KONVENSI PERUBAHAN IKLIM (UNFCCC)

Pihak-pihak protokol ini,
Menjadi pihak-pihak yang mengikuti (ketentuan konvensi) konvensi PBB mengenai perubahan iklim, yang untuk selanjutnya disebut sebagai “konvensi ”. berupaya meraih tujuan akhir konvensi, mengingat ketentuan-ketentuan konvensi, dipandu oleh pasal 3 konvensi, mengikuti mandat berlin yang diadopsi oleh keputusan 1/CP.1 oleh Konfrensi  Pihak-pihak terhadap konvensi pada sidang pertamanya.

Target kyoto adalah menurukan emisi yang dikenal dengan nama QELROs (Quantified Emission Limitation and Reduction Commitments) adalah inti dari seluruh urusan Protokol Kyoto dan memilikin beberapa implikasi sebagai berikut :
·         Mengikat secara hukum (Legally Binding)
·         Adanya periode komitmen (Commitment Period)
·         Digunakannya rosot (sink) untuk mencapai target
·         Adanya jatah emisi (assigned amount) setiap pihak Annex I
·         Dimasukannya 6 jenis GRK (Basket of Gases) dan disetarakan dengan CO

Pasal 3.7
Pada periode pertama pembatasan dan pengurangan emisi yaitu dari tahun 2008 hingga 2012, jumlah yang diberlakukan untuk tiap Pihak yang termasuk pada Annex I harus sama dengan persentase yang di tuliskan untuknya di Annex B dari jumlah agregat CO antropogenik yang sama dengan emisi gas rumah kaca yang terdapat pada daftar di Annex A pada tahun 1990, atau tahun basis atau periode yang di tentukan. Pihak-pihak yang termasuk pada Annex I yang perubahan penggunaan lahan dan hutannya menjadi sumber emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 harus menyertakan tahun basis emisi 1990 atau periode dimana CO antropogeniknya sama dengan emisi menurut sumber dikurangi limbah pembuangan pada tahun1990 dari perubahan penggunaan lahan untuk tujuan penghitungan jumlah yang di tetapkan.

            Emisi yang dilakukan ole para pihak yang termasuk dalam Annex I agar tetap mencapai target pengurangan. Target tersebut dibedakan untuk setiap Pihak yang bervariasi dari kewajiban menurunkan emisi sebesar 8% (UE) sampai izin meningkatkan emisi hingga 10% (Islandia). Secara rata-rata kewajiban seluruh Annex B akan menurunkan emisi paling sedikit sebesar 5% yang tertulis pada pasal 3.1. Dalam periode komitmen pertama besarnya jatah ini akan sama dengan QELROs. Setiap periode pelaporan, jatah tersebut dapat naik atau turun tergantung tingkat prestasi atau kegagalan Pihak tersebut dalam mencapai targetnya. Perhitungan jatah emisi suatu Pihak dalam Annex B dalam suatu periode komitmen dilakukan dengan menghitung jatah emisi 1 tahun dikalikan lima.

            Penurunan emisi dapat di lakukan oleh negara-negara Annex I melalui kegiatan domestik di berbagai sektor termasuk penggunaan rosot. Negara-negara Annex I juga dapat memenuhi komitmennya melalui unit pengurangan emisi yang diperoleh melalui kegiatan bersama dengan pihak lain di kalangan Annex I untuk memperoleh sejumlah unit pengurangan emisi (Emission Reduction Unit, ERU)untuk memperoleh sejumlah unit jatah emisi (Assigned Amount Unit, AAU). Para pihak yang tidak termasuk dalam Annex I


Badan pelaksana CDM
Anggota badan pelaksana CDM terdiri dari 10 orang dari para Pihak protokol dengan komposisi: lima negara masing-masing dari lima wilayah PBB, dua orang dari negara Annex I, dua orang dari negara non-Annex I dan satu orang dari SIDS.


Partisipasi negara berkembang
Sebagai Pihak yang sangat rentan dengan perubahan iklim, negara berkembang sangat berkepentingan untuk melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Tentu saja bukan negara-negara berkembang ini yang menanggung biayanya karena memang bukan mereka penyebabnya. Untuk itu, partisipasi negara berkembang dalam mitigasi dan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim memiliki implikasi finansial yang harus di atur secara adil. Ketergantungan teknologi misalnya, tidak memungkinkan negara berkembang mengambil jalan pintas. Proses pengembangan dan alih-teknologi yang ramah lingkungan juga memiliki implikasi biaya yang dirancang secara transparan sehingga Global Environmental Facilities (GEF) beserta entitas finansialnya memilki wawasan yang baik mengenai kebutuhan negara berkembang.



Pengelompokan Negara Berkembang
Meskipun secara totalitas negara-negara berkembang terganung dalam G77+China, namun mereka bukanlah kelompok monolitik. Dalam perjalanan negosiasi, paling sedikit terdapat tiga sub-kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda dalam kaitannya dengan implementasi pasal 10, yaitu AOSIS, OPEC, dan mayoritas G77 termasuk India, China, dan Brazil. Jadi, pengelompokan yang dimaksud di sini sebenarnya adalah "perpecahan" yang terjadi karena kepentingan mereka dalam hal partisipasi memang berbeda. Demikian juga dalam hal implikasi finansialnya.

Ratifikasi protokol kyoto
Bagi negara berkembang tujuan utama meratifikasi protokol kyoto adalah agar negara tersebut dapat berpartisipasi dala, mekanisme CDM. Pengambilan kebijakan harus dapat menimbang secara bijaksana pendapat-pendapat dari kalangan yang kontra, sehingga penentuan perlu tidaknya indonesia meratifikasi protokol dapat dilakukan secara obyektif dengan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendapat kelompok-kelompok tersebut umumnya didasari oleh hal-hal sebagai berikut
  -Merupakan dana segar bebas utang
  -Mengatasi seluruh permasalahan keuangan      proyek
  -Tidak memerlukan dana pendamping
Dalam mengimplementasikan protokol kyoto telah diputuskan berbagai pengaman agar konvensi internasional lainnya tidak terancam. Adalah tugas 'tuan-rumah' untuk memperketat atau memperlonggar ketentuan tersebut, khususnya melalui penentuan kriteria dan indikator pembangunan berkelanjutan. Dalam kaitannya dengan implementasi proyek CDM di sektor kehutanan (LULUCF) bahwa untuk mendapatkan keuntingan yang besar pihak pengembang akan memulai dengan lahan kosong sehingga proyek CDM di sektor ini cenderung mendorong terjadinya deforestasi besar-besaran.

Dampak protokol kyoto bagi negara-negara berkembang
            Negara berkembang seperti indonesia mendapatkan dampak yang baik akibat protokol kyoto. Dampak yang di timbulkan protokol kyoto dapat di kelompokan dalam 3 aspek, yaitu politik dan hukum, bisnis, dan kelembagaan.




Dampak dalam politik dan hukum

Secara hukum ratifikasi atau pengesahan suatu konvensi tidak selalu ditindaklanjuti dengan pengesahan protokolnya. Jika ternyata ada negara yang mengesahkan konvensi, tetapi menolak protokolnya, itu adalah hak negara tersebut  karena menurut pertimbangannya terdapat hal-hal yang merugikan. Dengan kata lain, perlu tidaknya pengesahan adalah kedaulatan setiap negara yang di dasari berbagai pertimbangan, termasuk pertimbangan-pertimbangan politis, hukum nasional, dan finansial serta peluang melakukan pengembangan bisnis. dampak politis yaitu sehubungan dengan relasi kita dengan negara berkembang lainnya, dampak hukum nasional dan lokal sehubungan dengan tatanan peraturan secara sektoral, dan keberadaan pemerintah di daerah.
            Secaran konstitusional, pengesahan protokol kyoto sebenarnya dapat dilakukan dengan keputusan presiden, apalagi konvensinya telah diratifikasi dengan UU No 6/1994. Namun demikian, menurut UU No 24/2000 tentang perjanjian internasional, diamanatkan bahwa untuk pengesahan perjanjian internasional tentang lingkungan hidup harus dilakukan dengan UU.

Dampak bisnis
Pasar Karbon Global
Untuk mencapai target penirunan emisinya negara-negara industri dapat melakukannya secara domestik, tetapi dapat dipastikan bahwa cara tersebut akan memakan biaya yang tinggi. Oleh karena itu, mereka akan pergi ke pasar karbon global di luar negeri melalui proyek-proyek investasi baru di berbagai sektor dengan menggunakan mekanisme kyoto (JI, ET, dan CDM). Sektor-sektor yang dapat menurunkan emisi antara lain ialah energi, industri, transportasi, kehutanan, pertanian, dan limbah domestik. Dalam mekanisme kyoto, proyek yang absah akan menghasilkan CER bagi investor, sementara tuan rumah akan mendapatkan dana tambahan investasi yang sesuai dengan banyaknya GRK setara karbon yang direduksi dan jumlahnya akan disahkan oleh badan pelaksana CDM yang telah terbentuk dalam CoP7.
            Sebagai negara berkembang indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisinya, tetapi dapat berpartisipasi melalui CDM.

Dampak Kelembagaan dan SDM
            Agar indonesia dapat berpartisipasi dalam kegiatan CDM, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah mengesahkan protokol kyoto. Kemudian di susul dengan penyusunan peraturan/per-undangan yang akan belaku secara nasional dan dirancang untuk memperlancar implementasi protokol. Jadi, pengesahan protokol adalah prasyarat mutlak untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan CDM.

            Tindakan tersebut juga akan dilakukan oleh pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, dan kota). Oleh karena itu, pemerintah pusat juga perlu melakukan sosialisasi agar pemerintah daerah juga memiliki pemahaman yang sama tentang implementasi protokol melalui CDM. Kerangka peraturan di daerah yang kondusif akan memberikan daya tarik tertentu bagi kemungkinan investasi. Mengingat kemungkinan investasi CDM juga dapat meliputi beberapa daerah yang bertetangga, maka peraturan di beberapa daerah yang harmonis juga dapat menjadi daya tarik yang lain.