Kamis, 17 Februari 2011

PROTOKOL KYOTO


Ketika mengadopsi UNFCCC pada tahun 1992, para pemerintah menyadari bahwa Konvensi tersebut bisa menjadi pijakan bagi tindakan lebih kuat di masa depan. Dengan melakukan proses peninjauan, pembahasan dan pertukaran informasi secara terus-menerus, Konvensi tersebut memungkinkan pengadopsian komitmen-komitmen tambahan untuk menanggapi perubahan dalam pemahaman ilmiah dan kemauan politik.
Tinjauan pertama dari komitmen Negara maju dilakukan seperti disyaratkan oleh sidang pertama COP (COP-1) di Berlin pada tahun 1995. Para Pihak memutuskan bahwa komitmen Negara-negara maju untuk mengembalikan ke tingkat emisi pada tahun 2000 sama seperti tingkat emisi pada tahun 1990 tidak cukup untuk mencapai tujuan jangkapanjang Konvensi yaitu mencegah “campur tangan zat-zat hasil kegiatan manusia terhadap sistem iklim”.
Pada menteri dan pejabat senior menanggapinya dengan mengadopsi “Mandat Berlin” dan melakukan rangkaian perundingan baru mengenai penguatan komitmen Negara maju. Kelompok Ad Hoc Mandat Berlin (AGBM) dibentuk untuk membuat draft perjanjian; setelah sidang kedelapan, kelompok tersebut mengajukan teks ke perundingan terakhir COP-3.
Sekitar 10 000 delegasi, pengamat dan wartawan berpartisipasi dalam perundingan tingkat tinggi ini yang diselenggarakan di Kyoto, Jepang, pada Desember 1997. Konferensi ini menghasilkan keputusan berupa konsensus (1/CP.3) untuk mengadopsi Protokol yang mengharuskan negara-negara industri untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mereka setidaknya sebanyak 5% dibandingkan tingkat emisi pada tahun 1990 pada periode 2008-2012. Komitmen yang mengikat secara hukum ini menjanjikan untuk menghasilkan penurunan emisi yang telah cenderung mengalami kenaikan di Negara-negara tersebut sejak 150 tahun lalu.
Protocol Kyoto terbuka untuk ditandatangani pada 16 Maret 1998. Protokol ini diberlakukan 90 hari setelah diratifikasi oleh sekurangnya 55 Pihak Konvensi, termasuk Negara-negara maju yang menyumbangkan setidaknya 55% dari jumlah total emisi karbondioksida pada tahun 1990 dari kelompok Negara industri ini. Selain itu, para Pihak UNFCCC akan terus menjalankan komitmen mereka sesuai dengan Konvensi dan mempersiapkan implementasi lebih lanjut dari Protokol ini.




Isi

Pasal-pasal pada protokol kyoto untuk UNFCCC tidak memiliki judul; judul topik yang dicantumkan di bawah ini hanya untuk memudahkan pembaca dan bukan merupakan bagian dari teks resmi, yang dimulai pada halaman 3 preambul
1.      Definisi
2.      Kebijakan dan langkah-langkah
3.      Komitmen pembatasan dan pengurangan emisi
4.      Pemenuhan komitmen bersama
5.      Masalah metodologi
6.      Transfer dan pengambil alihan unit pengurangan emisi (implementasi bersama)
7.      Komunikasi informasi
8.      Tinjauan informasi
9.      Tinjauan terhadap Protokol
10.  Kelanjutan untuk meningkatkan komitmen yang ada
11.  Mekanisme keuangan
12.  Mekanisme Pembangunan Bersih
13.  COP/MOP
14.  Sekretariat
15.  Badan-badan pembantu
16.  Proses konsultasi multi-lateral
17.  Perdagangan emisi (Emission Trading)
18.  Kegagalan pemenuhan syarat
19.  Penyelesaian sengketa
20.  Amandemen
21.  Adopsi dan amandemen terhadap annex
22.  Hak suara
23.  Depositori
24.  Penandatanganan dan ratifikasi, penerimaan, persetujuan dan aksesi
25.  Pemberlakuan
26.  Perkecualian
27.  Pengunduran diri
28.  Naskah asli

Annex A: Gas-gas ruumah kaca dan kategori sektor/sumber
Annex B: Komitmen jumlah pembatasan atau pengurangan emisi oleh para Pihak

PROTOKOL KYOTO UNTUK KERANGKA KERJA PBB PADA KONVENSI PERUBAHAN IKLIM (UNFCCC)

Pihak-pihak protokol ini,
Menjadi pihak-pihak yang mengikuti (ketentuan konvensi) konvensi PBB mengenai perubahan iklim, yang untuk selanjutnya disebut sebagai “konvensi ”. berupaya meraih tujuan akhir konvensi, mengingat ketentuan-ketentuan konvensi, dipandu oleh pasal 3 konvensi, mengikuti mandat berlin yang diadopsi oleh keputusan 1/CP.1 oleh Konfrensi  Pihak-pihak terhadap konvensi pada sidang pertamanya.

Target kyoto adalah menurukan emisi yang dikenal dengan nama QELROs (Quantified Emission Limitation and Reduction Commitments) adalah inti dari seluruh urusan Protokol Kyoto dan memilikin beberapa implikasi sebagai berikut :
·         Mengikat secara hukum (Legally Binding)
·         Adanya periode komitmen (Commitment Period)
·         Digunakannya rosot (sink) untuk mencapai target
·         Adanya jatah emisi (assigned amount) setiap pihak Annex I
·         Dimasukannya 6 jenis GRK (Basket of Gases) dan disetarakan dengan CO

Pasal 3.7
Pada periode pertama pembatasan dan pengurangan emisi yaitu dari tahun 2008 hingga 2012, jumlah yang diberlakukan untuk tiap Pihak yang termasuk pada Annex I harus sama dengan persentase yang di tuliskan untuknya di Annex B dari jumlah agregat CO antropogenik yang sama dengan emisi gas rumah kaca yang terdapat pada daftar di Annex A pada tahun 1990, atau tahun basis atau periode yang di tentukan. Pihak-pihak yang termasuk pada Annex I yang perubahan penggunaan lahan dan hutannya menjadi sumber emisi gas rumah kaca pada tahun 1990 harus menyertakan tahun basis emisi 1990 atau periode dimana CO antropogeniknya sama dengan emisi menurut sumber dikurangi limbah pembuangan pada tahun1990 dari perubahan penggunaan lahan untuk tujuan penghitungan jumlah yang di tetapkan.

            Emisi yang dilakukan ole para pihak yang termasuk dalam Annex I agar tetap mencapai target pengurangan. Target tersebut dibedakan untuk setiap Pihak yang bervariasi dari kewajiban menurunkan emisi sebesar 8% (UE) sampai izin meningkatkan emisi hingga 10% (Islandia). Secara rata-rata kewajiban seluruh Annex B akan menurunkan emisi paling sedikit sebesar 5% yang tertulis pada pasal 3.1. Dalam periode komitmen pertama besarnya jatah ini akan sama dengan QELROs. Setiap periode pelaporan, jatah tersebut dapat naik atau turun tergantung tingkat prestasi atau kegagalan Pihak tersebut dalam mencapai targetnya. Perhitungan jatah emisi suatu Pihak dalam Annex B dalam suatu periode komitmen dilakukan dengan menghitung jatah emisi 1 tahun dikalikan lima.

            Penurunan emisi dapat di lakukan oleh negara-negara Annex I melalui kegiatan domestik di berbagai sektor termasuk penggunaan rosot. Negara-negara Annex I juga dapat memenuhi komitmennya melalui unit pengurangan emisi yang diperoleh melalui kegiatan bersama dengan pihak lain di kalangan Annex I untuk memperoleh sejumlah unit pengurangan emisi (Emission Reduction Unit, ERU)untuk memperoleh sejumlah unit jatah emisi (Assigned Amount Unit, AAU). Para pihak yang tidak termasuk dalam Annex I


Badan pelaksana CDM
Anggota badan pelaksana CDM terdiri dari 10 orang dari para Pihak protokol dengan komposisi: lima negara masing-masing dari lima wilayah PBB, dua orang dari negara Annex I, dua orang dari negara non-Annex I dan satu orang dari SIDS.


Partisipasi negara berkembang
Sebagai Pihak yang sangat rentan dengan perubahan iklim, negara berkembang sangat berkepentingan untuk melakukan mitigasi dan adaptasi terhadap perubahan iklim. Tentu saja bukan negara-negara berkembang ini yang menanggung biayanya karena memang bukan mereka penyebabnya. Untuk itu, partisipasi negara berkembang dalam mitigasi dan adaptasi terhadap dampak negatif perubahan iklim memiliki implikasi finansial yang harus di atur secara adil. Ketergantungan teknologi misalnya, tidak memungkinkan negara berkembang mengambil jalan pintas. Proses pengembangan dan alih-teknologi yang ramah lingkungan juga memiliki implikasi biaya yang dirancang secara transparan sehingga Global Environmental Facilities (GEF) beserta entitas finansialnya memilki wawasan yang baik mengenai kebutuhan negara berkembang.



Pengelompokan Negara Berkembang
Meskipun secara totalitas negara-negara berkembang terganung dalam G77+China, namun mereka bukanlah kelompok monolitik. Dalam perjalanan negosiasi, paling sedikit terdapat tiga sub-kelompok yang memiliki kepentingan yang berbeda dalam kaitannya dengan implementasi pasal 10, yaitu AOSIS, OPEC, dan mayoritas G77 termasuk India, China, dan Brazil. Jadi, pengelompokan yang dimaksud di sini sebenarnya adalah "perpecahan" yang terjadi karena kepentingan mereka dalam hal partisipasi memang berbeda. Demikian juga dalam hal implikasi finansialnya.

Ratifikasi protokol kyoto
Bagi negara berkembang tujuan utama meratifikasi protokol kyoto adalah agar negara tersebut dapat berpartisipasi dala, mekanisme CDM. Pengambilan kebijakan harus dapat menimbang secara bijaksana pendapat-pendapat dari kalangan yang kontra, sehingga penentuan perlu tidaknya indonesia meratifikasi protokol dapat dilakukan secara obyektif dengan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan. Pendapat kelompok-kelompok tersebut umumnya didasari oleh hal-hal sebagai berikut
  -Merupakan dana segar bebas utang
  -Mengatasi seluruh permasalahan keuangan      proyek
  -Tidak memerlukan dana pendamping
Dalam mengimplementasikan protokol kyoto telah diputuskan berbagai pengaman agar konvensi internasional lainnya tidak terancam. Adalah tugas 'tuan-rumah' untuk memperketat atau memperlonggar ketentuan tersebut, khususnya melalui penentuan kriteria dan indikator pembangunan berkelanjutan. Dalam kaitannya dengan implementasi proyek CDM di sektor kehutanan (LULUCF) bahwa untuk mendapatkan keuntingan yang besar pihak pengembang akan memulai dengan lahan kosong sehingga proyek CDM di sektor ini cenderung mendorong terjadinya deforestasi besar-besaran.

Dampak protokol kyoto bagi negara-negara berkembang
            Negara berkembang seperti indonesia mendapatkan dampak yang baik akibat protokol kyoto. Dampak yang di timbulkan protokol kyoto dapat di kelompokan dalam 3 aspek, yaitu politik dan hukum, bisnis, dan kelembagaan.




Dampak dalam politik dan hukum

Secara hukum ratifikasi atau pengesahan suatu konvensi tidak selalu ditindaklanjuti dengan pengesahan protokolnya. Jika ternyata ada negara yang mengesahkan konvensi, tetapi menolak protokolnya, itu adalah hak negara tersebut  karena menurut pertimbangannya terdapat hal-hal yang merugikan. Dengan kata lain, perlu tidaknya pengesahan adalah kedaulatan setiap negara yang di dasari berbagai pertimbangan, termasuk pertimbangan-pertimbangan politis, hukum nasional, dan finansial serta peluang melakukan pengembangan bisnis. dampak politis yaitu sehubungan dengan relasi kita dengan negara berkembang lainnya, dampak hukum nasional dan lokal sehubungan dengan tatanan peraturan secara sektoral, dan keberadaan pemerintah di daerah.
            Secaran konstitusional, pengesahan protokol kyoto sebenarnya dapat dilakukan dengan keputusan presiden, apalagi konvensinya telah diratifikasi dengan UU No 6/1994. Namun demikian, menurut UU No 24/2000 tentang perjanjian internasional, diamanatkan bahwa untuk pengesahan perjanjian internasional tentang lingkungan hidup harus dilakukan dengan UU.

Dampak bisnis
Pasar Karbon Global
Untuk mencapai target penirunan emisinya negara-negara industri dapat melakukannya secara domestik, tetapi dapat dipastikan bahwa cara tersebut akan memakan biaya yang tinggi. Oleh karena itu, mereka akan pergi ke pasar karbon global di luar negeri melalui proyek-proyek investasi baru di berbagai sektor dengan menggunakan mekanisme kyoto (JI, ET, dan CDM). Sektor-sektor yang dapat menurunkan emisi antara lain ialah energi, industri, transportasi, kehutanan, pertanian, dan limbah domestik. Dalam mekanisme kyoto, proyek yang absah akan menghasilkan CER bagi investor, sementara tuan rumah akan mendapatkan dana tambahan investasi yang sesuai dengan banyaknya GRK setara karbon yang direduksi dan jumlahnya akan disahkan oleh badan pelaksana CDM yang telah terbentuk dalam CoP7.
            Sebagai negara berkembang indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menurunkan emisinya, tetapi dapat berpartisipasi melalui CDM.

Dampak Kelembagaan dan SDM
            Agar indonesia dapat berpartisipasi dalam kegiatan CDM, maka langkah awal yang harus dilakukan adalah mengesahkan protokol kyoto. Kemudian di susul dengan penyusunan peraturan/per-undangan yang akan belaku secara nasional dan dirancang untuk memperlancar implementasi protokol. Jadi, pengesahan protokol adalah prasyarat mutlak untuk dapat berpartisipasi dalam kegiatan CDM.

            Tindakan tersebut juga akan dilakukan oleh pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, dan kota). Oleh karena itu, pemerintah pusat juga perlu melakukan sosialisasi agar pemerintah daerah juga memiliki pemahaman yang sama tentang implementasi protokol melalui CDM. Kerangka peraturan di daerah yang kondusif akan memberikan daya tarik tertentu bagi kemungkinan investasi. Mengingat kemungkinan investasi CDM juga dapat meliputi beberapa daerah yang bertetangga, maka peraturan di beberapa daerah yang harmonis juga dapat menjadi daya tarik yang lain.

3 komentar:

  1. Program cdm ini mgkn dpt berpengaruh terhadap perekonomian negara indo srmakin baik mdh2an dmpak nya juga ikut dirasakan masyrkt

    BalasHapus
  2. Lahan bisnis berwawasan lingkungan

    BalasHapus