Selasa, 22 Maret 2011

aristoteles dan PLATO menganggap demokrasi buruk

Istilah “demokrasi” saat ini tidak dapat di lepaskan dari wacana politik apapun baik dalam konteks mendukung, setengah mendukung, atau menentang. Mulai skala warung kopi pinggir jalan sampai hotel berbintang lima, demokrasi menjadi objek yang paling sering di bicarakan, paling tidak di negeri ini.
Dengan logika antitesis, lawan kata demokrasi adalah totaliter jika tidak demokratis pasti totaliter. Totaliter sendiri memiliki kesan buruk kejam, bengis, sehingga negara-negara komunis sekalipun tidak ketinggalan memakai istilah demokrasi walaupun diembel-embeli sebagai “ Demokrasi Sosialisme” atau “Demokrasi Kerakyatan”. Dalam kaitannya masalah ini, UNESCO pada tahun 1949 menyatakan:
“… mungkin untuk pertama kali dalam sejarah, demokrasi di nyatakan sebagai nama yang paling baik dan wajar untuk semua sistem organisasi politik dan sosial yang di perjuangkan oleh pendukung-pendukung yang berpengaruh…
Kedaulatan didefinisikan sebagai “menangani dan menjalankan sesuatu kehendak atau aspirasi tertentu”. Dalam sistem demokrasi kedaulatan berada di tangan rakyat. Hal ini berarti rakyat sebagai sumber aspirasi (hukum) dan berhak menangani serta menjalankan aspirasi tersebut.
Dalam sistem demokrasi, kekuasaan berada ditangan rakyat dan mereka “mengontrak” seorang penguasa untuk mengatur urusan dan kehendak rakyat. Jika penguasa dipandang sudah tidak akomodatif terhadap kehendak rakyat, penguasa dapat dipecat karena penguasa tersebut merupakan “buruh” yang di gaji oleh rakyat untuk mengatur negara. Konsep inilah yang diperkenalkan oleh John Locke (1632-1704) dan Montesquieu (1689-1755), dikenal dengan sebutan kontrak sosial.
Dalam sistem demokrasi, kebebasan adalah faktor utama untuk mengembalikan kesempatan kepada masyarakat untuk mengekspresikan apapun bentuknya secara terbuka dan tanpa batasan atau tekanan.

Keprihatinan bangsa terjadi apabila kepemimpinan tidak lagi melindungi kepentingan publik (rakyat), di beberapa negara yang tertulis dalam catatan sejarah mengetengahkan keadaan negara yang lebih mementingkan kehendak pemimpinnya, maka egoisme individual pemimpin itu akan menggusur negara kepada kemiskinan rakyatnya dan kehancuran negaranya. Logika kepemimpinan adalah membawa kehidupan rakyatnya menuju kepada kesejahteraan, bukan sebagai arena menarik sebesar-besarnya kekayaan intelektual, materi, maupun tenaga rakyatnya untuk kesejahteraan pemimpinnya. Gejala penyelewengan pemimpin telah berjalan sejak sebuah kelompok manusia/organisasi terbentuk di bumi ini. Tipikal kepemimpinan kuno yang tingkat peradabannya masih rendah, pemimpin selalu dianggap sebagai dewa, sehingga rakyat diharuskan mengabdi dan memenuhi segala perintahnya, meskipun perintah tersebut menyengsarakan mereka. Dengan kata lain kepemimpinan pada masa peradaban rendah, rakyat merupakan objek bagi peningkatan kesejahteraan pemimpin, sehingga kekayaan alam dan sumberdaya lainnya diperuntukan untuk kesejahteraan pemimpin.
Demokrasi modern tidak memberikan ruang kepemilikan sumber-sumber ekonomi yang berlimpah dan sangat dibutuhkan masyarakat banyak dikuasai oleh negara untuk dikembalikan kepada rakyat sebagai pemilik sumber-sumber ekonomi tersebut (faktor produksi). Demokrasi modern memberikan keleluasaan kepada pihak swasta (individual) untuk menguasai sumber-sumber ekonomi, praktik teori demokrasi ini sebenarnya sedang memperlihatkan bahwa praktik monopoli kepemilikan sumberdaya diperkenankan, dan negara menjadi lembaga legalisasi terhadapnya. “Mungkinkah keadilan dapat dicapai dengan kondisi ini ?”, Bukankah praktik ini sedang mempertontonkan teori kekuatan hewan di hutan, dimana yang kuat boleh menjadi pemimpin ?. Kecerdasan mana yang dapat menerima demokrasi modern dapat dijadikan model kepemimpinan yang mensejahterakan rakyat suatu negara, dan dimanakah letak kekuasaan negara sebagai pelindung rakyatnya, apabila kepemilikan sumber-sumber ekonomi tidak diatur oleh negara, tapi diserahkan sebebas-bebasnya kepada individu ?.
Sehingga mungkin Plato dan Aristoteles bertanya untuk apa ada negara jika yang menjalankan roda perekonomian adalah swasta, sedangkan negara sifatnya hanya sebatas wasit di arena pertandingan sedangkan yang menjadi pemain adalah rakyatnya. Yang kuat dapat menindas yang lemah dan yang berkuasa dapat menggunakan kekuasaannya untuk bertindak sesukanya, hal serupa tidak lebih seperti hukum yang ada di hutan, jadi demokrasi dapat disebut sebagai hukum rimba?
Suara mayoritas selalu menjadi rujukan bagi sistem demokrasi, sehingga rakyat bisa menggantikan kedudukan Tuhan di dunia. Sesuatu tidak lagi diukur dengan benar atau salah tetapi diukur dengan suara mayoritas, sehingga tidak aneh jika demokrasi melahirkan disintergrasi nilai luhur suatu agama, sosial, dan budaya di suatu masyarakat.
Praktik Korupsi, monopoli terhadap sumber-sumber ekonomi, swastanisasi sumber-sumber ekonomi yang merupakan hajat hidup rakyat banyak, gaya kepemimpinan yang selalu ingin diutamakan, serta masih memerlukan upeti, money politic, eksploitasi sumber daya alam yang mengabaikan keseimbangan, dan meningkatnya jumlah kemiskinan akibat rakyat miskin menjadi objek pemilik sumber daya ekonomi, merupakan produk demokrasi modern, sebab demokrasi ini memperkenankan penguasaan individual terhadap sumber daya ekonomi dengan berbagai cara.
Praktik kepemimpinan dengan pendekatan kekuasaan ekonomi, akan melahirkan penindasan, kedzaliman, dan kerakusan. Kepemimpinan model seperti ini akan melahirkan ketakutan bagi para pemimpin yang sedang duduk kehilangan jabatan. Hal ini terjadi karena berindikasi turunnya jabatan akan menurunkan jumlah kekayaan, sehingga upaya mempertahankan kekuasaan dan memperbanyak kekayaan menjadi faktor penentu kelestarian pengaruh yang dimilikinya. Apakah pemimpin yang masih memiliki ketakutan terhadap turunnya jabatan, akan mampu memimpin rakyatnya/bawahannya, dan apakah rakyat/bawahan mau dipimpin oleh seorang penakut seperti itu ?.
Meningkatnya jumlah kemiskinan, kebijakan pemimpin yang lebih mengutamakan kepentingan diluar kesejahteraan rakyatnya, merupakan bentuk kegagalan demokrasi modern, contoh riil yang dihadapi yaitu meningkatnya harga pangan, meningkatnya harga minyak, merupakan bukti kegagalan produk pemikiran demokrasi modern.
Sehingga patutlah Plato dan Aristoteles kebingungan dengan teori ini, yang tidak lagi berstandar kan kesejahteraan rakyat tetapi standar untuk kesejahteraan penguasa dan pemilik modal (kapital). Mungkin jika John Locke dan Montesquieu masih hidup dia akan berpikir seribu kali untuk memperkenalkan sistem demokrasi ini, dan tidak menutup kemungkinan dia akan memperkenalkan sistem Islam yang tidak ada dua dibandingkan dengan demokrasi.
Menerapkan model kepemimpinan Muhammad (Islami) dalam berorganisasi dan bernegara, merupakan pilihan rasional dan ilmiah, sebab kelemahan dari model ini hanya disebutkan oleh orang-orang yang tidak menghendaki kebenaran dan kesejahteraan manusia tegak dimuka bumi ini.
“Ditinjau dari akar kelahirannya, islam jelas beda dengan demokrasi. Sistem Islam tidak lahir dari akal-akalan manusia, tapi merupakan Wahyu dari Allah SWT.

1 komentar: